Ditengah perjalanan mereka berpapasan dengan seorang pria, kemudian lelaki itu berkata, "Dasar bodoh, mengapa kalian jalan kaki sedangkan kalian mempunyai keledai??". Mendengar perkataan lelaki tersebut menghasilkan sang ayah kemudian memerintahkan sang anak untuk secepatnya menaiki keledai. Dan mereka pun kembali melanjutkan perjalanan.
1001 Kisah Anak Singkat Kisah Si Kurang Akil Dan Keledai
Ditengah perjalanan mereka berpapasan dengan seorang pria, kemudian lelaki itu berkata, "Dasar bodoh, mengapa kalian jalan kaki sedangkan kalian mempunyai keledai??". Mendengar perkataan lelaki tersebut menghasilkan sang ayah kemudian memerintahkan sang anak untuk secepatnya menaiki keledai. Dan mereka pun kembali melanjutkan perjalanan.
Jangan Sia-Siakan Istri Kalian
iqro3.blogspot.com |
𝐋𝐀𝐊𝐈-𝐋𝐀𝐊𝐈 𝐃𝐄𝐍𝐆𝐀𝐍 𝐒𝐀𝐓𝐔 𝐊𝐀𝐊𝐈
𝑂𝑙𝑒ℎ: 𝑊𝑎𝑟𝑑ℎ𝑎𝑛𝑖𝑙𝑖𝑎
_________
"Pak, nasi goreng satu. Gak pedes ya..." pintaku pada seorang pedagang nasi goreng pinggir jalan erat kantorku.
"Sendirian aja, Mas?" tanya bapak pedagang nasi goreng sembari meracik bahannya.
"Iya, Pak. Pulang lembur."
Si bapak tidak menyahut lagi. Ia dengan lincah mengolah makanan nasi goreng. Sesekali menebas-tebas wajan dengan penggorengnya, menyebabkan bunyi gaduh khas pedagang nasi goreng.
Terlihat semburat letih di ujung kelopak matanya. Sekarang memang sudah terlalu larut, bahkan nyaris melalui pagi.
Bapak pedagang nasi goreng menyuguhkan di mejaku.
"Bapak belum pulang? Ini bahkan sudah nyaris pagi," tanyaku ragu namun penasaran.
"Belum, Mas. Akhir-akhir ini barang jualan sepi. Saya aib kalau pulang tidak menenteng duit untuk bawah umur saya." Bapak mengambil dingklik dan duduk di depanku. Aku menyuap sendok demi sendok nasi gorengnya, yummy dan harum.
"Istri Bapak tidak menemani berdagang?" Lanjutku memecah keheningan. Dan sepertinya saya memang memerlukan sobat berbincang-bincang setelah penat sehari sarat di kantor dan perselisihan tadi pagi di rumah dengan istriku.
"Istri saya sudah meninggal dua tahun yang lalu, Mas. Sakit." Jawabnya lesu. Dan saya pun merasa bersalah. Kuurungkan dan tidak melanjutkan obrolan.
"Istri saya itu sungguh setia sama saya, Mas. Bertahun-tahun mengabdi tak pernah mengeluh sedikit pun. Saya cuma tahu ia bahagia. Bahkan ia sakit pun saya tidak tahu. Tahu-tahu sudah parah. Dan itu sungguh menyakitkan."
"Maaf, istri Bapak sakit apa?" Aku mulai menyimak ceritanya. Kelihatannya si bapak lebih memerlukan sobat berbincang-bincang dibanding aku.
"𝘈𝘭𝘻𝘩𝘦𝘪𝘮𝘦𝘳, Mas." Jawab si bapak berkaca-kaca. Kacamatanya mulai mengembun. Bukan sebab angin malam yang menusuk, namun sebab bias dari setetes demi setetes butir air mata yang mulai membasahi pipinya.
"Alzheimer, Pak?"
"Iya, Mas. Saya tidak tahu di saat gejala alzheimer ada pada istri saya. Saya cuma tahu kalau istri saya mulai pikun. Pada di saat itu usianya 34 tahun, masih muda. Saya dahulu itu administrator suatu perusahaan provider. Sering dinas luar kota bahkan luar negeri. Saya sering meninggalkan istri dan dua anak saya. Maka dari itu saya tidak tahu kalau istri saya sakit. Istri saya pun merahasiakannya dari saya dan anak-anak." Cerita bapak sendu dengan sesekali mengusap air matanya. Terlihat begitu dalam cinta si bapak terhadap mendiang istrinya.
"Hingga pada suatu hari, istri saya terbaring dengan mata terbuka. Ia membisu tanpa verbal apa pun. Bahkan ia tidak menyadari bahwa ia buang air kecil di celana. Saya membawanya ke dokter, dan kebetulan dokter yang sudah menilik istri saya sementara waktu silam. Seperti tersambar petir Mas, di saat saya mendengar penyakit yang diidap istri saya. Sejak di saat itu saya tentukan untuk resign dan merawat istri saya yang sudah tidak berdaya sekaligus dua buah hati kami yang masih kecil-kecil..." Si Bapak menghela nafas, kemudian matanya tertuju menatap langit malam yang mendung tak berbintang.
"Mas tahu tidak hal yang paling menyakitkan hati saya?"
Aku pun menggelengkan kepala.
"Hal yang paling menyakitkan hati saya yaitu di saat istri saya melalaikan saya. Dia tidak ingat siapa saya. Tidak ingat ijab kabul kami, dan tidak ingat hal-hal indah yang pernah kami lalui bersama..." Suara bapak mulai terdengar tak beraturan sebab tergugu.
"Ia tak ingat bahwa saya suaminya, tetapi ia ingat dua anak kami. Sangat ingat, bahkan tanggal lahir mereka dan nama mereka..." Suaranya tercekat diantara tangis yang berderai tak tertahan.
Aku ambilkan segelas air putih yang disiapkan si bapak untuk para pelanggannya, dan menaruh kursiku disamping si bapak. Menepuk pelan punggungnya.
"Mas punya istri?" Tanyanya mengagetkanku.
"Alhamdulillah sudah, Pak"
"Temani ia, Mas. Sesibuk apapun Mas dengan urusan lain, prioritaskan istri dan keluarga Mas. Saya dahulu terlalu sibuk dengan pekerjaan saya. Hampir setiap ahad saya dinas luar. Bahkan dapat terhitung dengan jari eksistensi saya di rumah. Kata dokter, itulah penyebab mengapa istri saya tidak bisa mengingat saya namun dapat mengingat bawah umur kami. Memorinya merekam cuma pada hal dan kebiasaan yang berulang-ulang setiap harinya. Saya tak pernah ada disampingnya, memorinya terhapus oleh penyakitnya. Saya menyesal, Mas..."
Aku tertunduk malu, mengingat memang tadi pagi saya dan istri berantem tentang urusan yang serupa persis dengan yang bapak katakan. Istriku menuntut waktuku untuknya yang sudah usang terenggut oleh kesibukanku di luar. Bahkan kalau di rumah, saya terlalu sibuk dengan gawaiku dan tidak mengindahkan istriku.
"Jangan hingga kita menyesal di kemudian hari, Mas. Membersamai orang yang kita cintai tetapi ia tak mengingat satu pun memori tentang kita. Itu justru lebih menyakitkan dari pada kehilangan ia di saat meninggal. Harta saya habis tak apa, namun saya tidak akan pernah berhenti mencintainya meski ia sudah diundang Yang Maha Kuasa. Ia menghabiskan hidupnya untuk mengabdi, berbakti, dan menyayangi saya. Sementara sisa hidup saya, saya habiskan untuk menyayangi keberadaannya."
Aku menghela nafas. Tiba-tiba pikiranku tertuju pada istriku dengan tidak-tidak. Aku tak pernah tahu istriku semenderita ini. Ada ragaku, namun tidak hatiku di saat bersamanya. Padahal ia yang kupilih untuk memulai ini semua. Mendampingiku berjuang mulai dari bawah. Dan di saat saya sudah ada pada posisi yang saya inginkan, saya korbankan pengorbanannya.
"Mas, pria yang kehilangan istrinya itu bagai seseorang dengan satu kaki, pincang. Sekuat apapun mereka, tak akan lebih besar lengan berkuasa di saat masih bareng pasangan mereka."
Air mataku luluh. Dengan bergegas saya mengeluarkan duit dengan selembaran berwarna merah. Tak kupedulikan kembaliannya. Aku cuma ingin pulang menemui Mina, istriku. Aku ingin memeluknya. Dan saya tak ingin menjadi pria dengan satu kaki yang diliputi banyak penyesalan.
.
.
𝘗𝘶𝘳𝘣𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢, 15 𝘈𝘨𝘶𝘴𝘵𝘶𝘴 2020
101 Kumpulan Kisah Anak | Cerpen Anak Kisah Burung Merpati, Burung Gagak Dan Tikus
Burung Gagak itu melayang sambil berteriak sungguh kencang, "ADA PEMBURU...ADA PEMBURU...CEPAT BERSEMBUNYI!!!" seru Burung GAgak.
Hewan lain yang mendengar bunyi keras dari si Burung Gagak pun pribadi kabur kalang kabut menyelamatkan diri mereka masing-masing. Namun, tidak bagi kawanan Burung Merpati. Mereka cuma melongo dan kebingungan di saat mendengar dan menyaksikan binatang lain berlarian bersembunyi.
Malah sang pemimpin Burung Merpati itu mengajak kawanan merpati itu untuk melayang kebawah, di saat menyaksikan dibawah terdapat biji-biji jagung. Tanpa mereka ketahui, bahwa biji-biji jagung itu merupakan jebakan dari sang Pemburu.
Ketika burung merpati telah hingga ditanah dan mengkonsumsi biji-bijian itu, kemudian sang pemburu pribadi menawan tali jaringnya, dan burung-burung merpati itu pun kesudahannya tertangkap.
Melihat peristiwa itu, ada segerombolan tikus yang sedari tadi mengamati peristiwa tersebut. Lalu sang pimpin mengutus para kawanan untuk menolong para burung merpati dengan cara menggerogoti jaring yang menangkap merpati. Akhirnya, kawanan merpati pun sanggup terlepas dari jaring milik sang pemburu.
Nasihat Untuk Penghafal Al Qur'an
iqro3.blogspot.com |
Kali ini, sahabat, saya mau bercerita. Bertahun-tahun lalu. di saat saya mulai menanam ayat demi ayat, di masjid kampus. di saat saya di saat itu bertekad ingin menghafal Al Qur'an.
Juz 30, sudah selesai. Tetapi di saat itu, saya loncat ke juz 28. gres setelahnya di susul juz-juz lain berurut dari belakang. Tetapi, sesudah sekian pekan menghafal sendiri tanpa program, ada sesuatu yang rasanya kosong.
Menjelang juz-juz ke tengah dari belakang, pengecap terasa kian kaku. Hati terasa sempit. Seakan-akan ada persoalan yang menghasilkan ayat-ayat itu tidak melekat, cuma sekedar lewat.
Tapi Allah berbincang jalan. satu persatu, Allah datangkan para huffadz, yang saya tidak menyangka, di kampus se-sekuler kampus saya, ada orang salih seumpama mereka. Juga lewat suatu gerakan dakwah waktu itu. KAMMI namanya.
Allah perlihatkan apa yang mereka lakukan. Mereka melambatkan bacaan, dan menghasilkan "sesuatu" seusai menghafal. Saya senantiasa lihat, mereka membentuk gerakan dakwah, menjadi pemimpin, atau punya ide-ide besar.
Apakah itu imbas dari menghafal, atau itu cara mereka menghafal, dengan bergerak? saya mengajukan pertanyaan terhadap salah seorang dari mereka. Saya sungguh-sungguh ingin tahu.
Ya, Sahabat. Ternyata jawabannya sudah jelas. Mereka, bergerak untuk menghafal. Bukan sebaliknya, Menghafal kemudian bergerak. maksudnya, mereka secepatnya menangkap pesan Allah yang tersebar dalam ayat paling singkat sekalipun.
Bahwa ayat-ayat itu gres akan menempel di dada kita, apabila di gunakan untuk bergerak. Bukan dipakai untuk diam. Setiap kali dipukul capek ataui dihantam kegagalan, ayat-ayat itulah yang menghasilkan mereka menegakkan bdan lagi, dan bertempur kembali.
Semakin saya bergerak, kian saya lelah. Dan dari kelelahan-kelelahan itu, barulah saya mengetahui apa maksud Allah, dalam surat Ash-Shaffat, Shad, Az-Zumar, atau Ghofir. Barulah saya bisa memeluk surat Hud dengan hati gembira, alasannya yaitu keletihan itu di hibur-Nya di sana.
Memang, menghafal, mesti dengan usaha di dunia kenyataan. Para kawan rasul, menghafalkan ayat-ayat itu sambil "mengalaminya" di dalam usaha dakwah. Bukan dalam alam uzlah yang sepi.
Saat itu, saya tentukan untuk berhenti menghafal dari belakang dan mengawali hafalan gres dari depan. Al-Baqoroh, yang indah, kembali saya kunjungi. Bermalam-malam, bahkan di saat saya berlibur, saya menghafal itu.
Beberapa waktu setelahnya, saya mencicipi perubahan. Dada saya menjadi ringan. Lidah saya, seakan-akan mudah mengucapkan kata-kata dari Al Qur'an. Seolah-olah Surat Al-Baqoroh itu seumpama air yang membersihkan darah kotor dan racun di badan saya.
Setelah surat Al-Baqoroh itu, perasaan saya jadi sungguh sensitif. Bertepatan di saat itu, seorang kawan mengenalkan saya terhadap guru saya, yang sungguh-sungguh berkesan. Ustadz Asep Sobari, di siroh Community, yang hari ini dia menjadi Direktur Eksekutif INSISTS.
Semoga Allah merahmati beliau.
Belajar siroh, menghasilkan saya kian mengetahui mengapa suatu ayat diturunkan. Kepada siapa, untuk apa, dan apa hukumnya. Siroh, menjadi semacam pagar penjaga hafalan saya.
Pengalaman saya menghafal itu, bagi saya, sungguh pribadi. Cara menghafal seseorang belum pasti pas dengan kita. Tetapi, kenangan yenatang bagaimana hafalan-hafalan permulaan Al-Qur'an dahulu di masjid kampus itu di bina, bagi saya, sungguh indah.
Setiap kali ada syaikh atau ulama tiba ke masjid, saya senantiasa minta doa mereka. Kini, doakan saya. Menghafal itu kesibukan seumur hidup. Bukan buat menikah. Bukan biar ada gelar. Bukan biar disebut orang.
Saya, sahabt, mencari sakinah. Saya mencari respon atas tata cara yang berputar di dunia ini. saya mencari respon atas segala penindasan atau kemiskina yang ada di dunia ini.
Sayapu, mencari respon atas keltihan saya selama ini. Dan respon itu seakan-akan pribadi Allah gambarkan dalam ayat-ayat yang saya hafal, dengan jelas. Saya cuma ingin berkisah, dan meminta doa.
By: @risalah_amar