iqro3.blogspot.com |
𝐋𝐀𝐊𝐈-𝐋𝐀𝐊𝐈 𝐃𝐄𝐍𝐆𝐀𝐍 𝐒𝐀𝐓𝐔 𝐊𝐀𝐊𝐈
𝑂𝑙𝑒ℎ: 𝑊𝑎𝑟𝑑ℎ𝑎𝑛𝑖𝑙𝑖𝑎
_________
"Pak, nasi goreng satu. Gak pedes ya..." pintaku pada seorang pedagang nasi goreng pinggir jalan erat kantorku.
"Sendirian aja, Mas?" tanya bapak pedagang nasi goreng sembari meracik bahannya.
"Iya, Pak. Pulang lembur."
Si bapak tidak menyahut lagi. Ia dengan lincah mengolah makanan nasi goreng. Sesekali menebas-tebas wajan dengan penggorengnya, menyebabkan bunyi gaduh khas pedagang nasi goreng.
Terlihat semburat letih di ujung kelopak matanya. Sekarang memang sudah terlalu larut, bahkan nyaris melalui pagi.
Bapak pedagang nasi goreng menyuguhkan di mejaku.
"Bapak belum pulang? Ini bahkan sudah nyaris pagi," tanyaku ragu namun penasaran.
"Belum, Mas. Akhir-akhir ini barang jualan sepi. Saya aib kalau pulang tidak menenteng duit untuk bawah umur saya." Bapak mengambil dingklik dan duduk di depanku. Aku menyuap sendok demi sendok nasi gorengnya, yummy dan harum.
"Istri Bapak tidak menemani berdagang?" Lanjutku memecah keheningan. Dan sepertinya saya memang memerlukan sobat berbincang-bincang setelah penat sehari sarat di kantor dan perselisihan tadi pagi di rumah dengan istriku.
"Istri saya sudah meninggal dua tahun yang lalu, Mas. Sakit." Jawabnya lesu. Dan saya pun merasa bersalah. Kuurungkan dan tidak melanjutkan obrolan.
"Istri saya itu sungguh setia sama saya, Mas. Bertahun-tahun mengabdi tak pernah mengeluh sedikit pun. Saya cuma tahu ia bahagia. Bahkan ia sakit pun saya tidak tahu. Tahu-tahu sudah parah. Dan itu sungguh menyakitkan."
"Maaf, istri Bapak sakit apa?" Aku mulai menyimak ceritanya. Kelihatannya si bapak lebih memerlukan sobat berbincang-bincang dibanding aku.
"𝘈𝘭𝘻𝘩𝘦𝘪𝘮𝘦𝘳, Mas." Jawab si bapak berkaca-kaca. Kacamatanya mulai mengembun. Bukan sebab angin malam yang menusuk, namun sebab bias dari setetes demi setetes butir air mata yang mulai membasahi pipinya.
"Alzheimer, Pak?"
"Iya, Mas. Saya tidak tahu di saat gejala alzheimer ada pada istri saya. Saya cuma tahu kalau istri saya mulai pikun. Pada di saat itu usianya 34 tahun, masih muda. Saya dahulu itu administrator suatu perusahaan provider. Sering dinas luar kota bahkan luar negeri. Saya sering meninggalkan istri dan dua anak saya. Maka dari itu saya tidak tahu kalau istri saya sakit. Istri saya pun merahasiakannya dari saya dan anak-anak." Cerita bapak sendu dengan sesekali mengusap air matanya. Terlihat begitu dalam cinta si bapak terhadap mendiang istrinya.
"Hingga pada suatu hari, istri saya terbaring dengan mata terbuka. Ia membisu tanpa verbal apa pun. Bahkan ia tidak menyadari bahwa ia buang air kecil di celana. Saya membawanya ke dokter, dan kebetulan dokter yang sudah menilik istri saya sementara waktu silam. Seperti tersambar petir Mas, di saat saya mendengar penyakit yang diidap istri saya. Sejak di saat itu saya tentukan untuk resign dan merawat istri saya yang sudah tidak berdaya sekaligus dua buah hati kami yang masih kecil-kecil..." Si Bapak menghela nafas, kemudian matanya tertuju menatap langit malam yang mendung tak berbintang.
"Mas tahu tidak hal yang paling menyakitkan hati saya?"
Aku pun menggelengkan kepala.
"Hal yang paling menyakitkan hati saya yaitu di saat istri saya melalaikan saya. Dia tidak ingat siapa saya. Tidak ingat ijab kabul kami, dan tidak ingat hal-hal indah yang pernah kami lalui bersama..." Suara bapak mulai terdengar tak beraturan sebab tergugu.
"Ia tak ingat bahwa saya suaminya, tetapi ia ingat dua anak kami. Sangat ingat, bahkan tanggal lahir mereka dan nama mereka..." Suaranya tercekat diantara tangis yang berderai tak tertahan.
Aku ambilkan segelas air putih yang disiapkan si bapak untuk para pelanggannya, dan menaruh kursiku disamping si bapak. Menepuk pelan punggungnya.
"Mas punya istri?" Tanyanya mengagetkanku.
"Alhamdulillah sudah, Pak"
"Temani ia, Mas. Sesibuk apapun Mas dengan urusan lain, prioritaskan istri dan keluarga Mas. Saya dahulu terlalu sibuk dengan pekerjaan saya. Hampir setiap ahad saya dinas luar. Bahkan dapat terhitung dengan jari eksistensi saya di rumah. Kata dokter, itulah penyebab mengapa istri saya tidak bisa mengingat saya namun dapat mengingat bawah umur kami. Memorinya merekam cuma pada hal dan kebiasaan yang berulang-ulang setiap harinya. Saya tak pernah ada disampingnya, memorinya terhapus oleh penyakitnya. Saya menyesal, Mas..."
Aku tertunduk malu, mengingat memang tadi pagi saya dan istri berantem tentang urusan yang serupa persis dengan yang bapak katakan. Istriku menuntut waktuku untuknya yang sudah usang terenggut oleh kesibukanku di luar. Bahkan kalau di rumah, saya terlalu sibuk dengan gawaiku dan tidak mengindahkan istriku.
"Jangan hingga kita menyesal di kemudian hari, Mas. Membersamai orang yang kita cintai tetapi ia tak mengingat satu pun memori tentang kita. Itu justru lebih menyakitkan dari pada kehilangan ia di saat meninggal. Harta saya habis tak apa, namun saya tidak akan pernah berhenti mencintainya meski ia sudah diundang Yang Maha Kuasa. Ia menghabiskan hidupnya untuk mengabdi, berbakti, dan menyayangi saya. Sementara sisa hidup saya, saya habiskan untuk menyayangi keberadaannya."
Aku menghela nafas. Tiba-tiba pikiranku tertuju pada istriku dengan tidak-tidak. Aku tak pernah tahu istriku semenderita ini. Ada ragaku, namun tidak hatiku di saat bersamanya. Padahal ia yang kupilih untuk memulai ini semua. Mendampingiku berjuang mulai dari bawah. Dan di saat saya sudah ada pada posisi yang saya inginkan, saya korbankan pengorbanannya.
"Mas, pria yang kehilangan istrinya itu bagai seseorang dengan satu kaki, pincang. Sekuat apapun mereka, tak akan lebih besar lengan berkuasa di saat masih bareng pasangan mereka."
Air mataku luluh. Dengan bergegas saya mengeluarkan duit dengan selembaran berwarna merah. Tak kupedulikan kembaliannya. Aku cuma ingin pulang menemui Mina, istriku. Aku ingin memeluknya. Dan saya tak ingin menjadi pria dengan satu kaki yang diliputi banyak penyesalan.
.
.
𝘗𝘶𝘳𝘣𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢, 15 𝘈𝘨𝘶𝘴𝘵𝘶𝘴 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Add your comment