iqro3.blogspot.com |
Kali ini, sahabat, saya mau bercerita. Bertahun-tahun lalu. di saat saya mulai menanam ayat demi ayat, di masjid kampus. di saat saya di saat itu bertekad ingin menghafal Al Qur'an.
Juz 30, sudah selesai. Tetapi di saat itu, saya loncat ke juz 28. gres setelahnya di susul juz-juz lain berurut dari belakang. Tetapi, sesudah sekian pekan menghafal sendiri tanpa program, ada sesuatu yang rasanya kosong.
Menjelang juz-juz ke tengah dari belakang, pengecap terasa kian kaku. Hati terasa sempit. Seakan-akan ada persoalan yang menghasilkan ayat-ayat itu tidak melekat, cuma sekedar lewat.
Tapi Allah berbincang jalan. satu persatu, Allah datangkan para huffadz, yang saya tidak menyangka, di kampus se-sekuler kampus saya, ada orang salih seumpama mereka. Juga lewat suatu gerakan dakwah waktu itu. KAMMI namanya.
Allah perlihatkan apa yang mereka lakukan. Mereka melambatkan bacaan, dan menghasilkan "sesuatu" seusai menghafal. Saya senantiasa lihat, mereka membentuk gerakan dakwah, menjadi pemimpin, atau punya ide-ide besar.
Apakah itu imbas dari menghafal, atau itu cara mereka menghafal, dengan bergerak? saya mengajukan pertanyaan terhadap salah seorang dari mereka. Saya sungguh-sungguh ingin tahu.
Ya, Sahabat. Ternyata jawabannya sudah jelas. Mereka, bergerak untuk menghafal. Bukan sebaliknya, Menghafal kemudian bergerak. maksudnya, mereka secepatnya menangkap pesan Allah yang tersebar dalam ayat paling singkat sekalipun.
Bahwa ayat-ayat itu gres akan menempel di dada kita, apabila di gunakan untuk bergerak. Bukan dipakai untuk diam. Setiap kali dipukul capek ataui dihantam kegagalan, ayat-ayat itulah yang menghasilkan mereka menegakkan bdan lagi, dan bertempur kembali.
Semakin saya bergerak, kian saya lelah. Dan dari kelelahan-kelelahan itu, barulah saya mengetahui apa maksud Allah, dalam surat Ash-Shaffat, Shad, Az-Zumar, atau Ghofir. Barulah saya bisa memeluk surat Hud dengan hati gembira, alasannya yaitu keletihan itu di hibur-Nya di sana.
Memang, menghafal, mesti dengan usaha di dunia kenyataan. Para kawan rasul, menghafalkan ayat-ayat itu sambil "mengalaminya" di dalam usaha dakwah. Bukan dalam alam uzlah yang sepi.
Saat itu, saya tentukan untuk berhenti menghafal dari belakang dan mengawali hafalan gres dari depan. Al-Baqoroh, yang indah, kembali saya kunjungi. Bermalam-malam, bahkan di saat saya berlibur, saya menghafal itu.
Beberapa waktu setelahnya, saya mencicipi perubahan. Dada saya menjadi ringan. Lidah saya, seakan-akan mudah mengucapkan kata-kata dari Al Qur'an. Seolah-olah Surat Al-Baqoroh itu seumpama air yang membersihkan darah kotor dan racun di badan saya.
Setelah surat Al-Baqoroh itu, perasaan saya jadi sungguh sensitif. Bertepatan di saat itu, seorang kawan mengenalkan saya terhadap guru saya, yang sungguh-sungguh berkesan. Ustadz Asep Sobari, di siroh Community, yang hari ini dia menjadi Direktur Eksekutif INSISTS.
Semoga Allah merahmati beliau.
Belajar siroh, menghasilkan saya kian mengetahui mengapa suatu ayat diturunkan. Kepada siapa, untuk apa, dan apa hukumnya. Siroh, menjadi semacam pagar penjaga hafalan saya.
Pengalaman saya menghafal itu, bagi saya, sungguh pribadi. Cara menghafal seseorang belum pasti pas dengan kita. Tetapi, kenangan yenatang bagaimana hafalan-hafalan permulaan Al-Qur'an dahulu di masjid kampus itu di bina, bagi saya, sungguh indah.
Setiap kali ada syaikh atau ulama tiba ke masjid, saya senantiasa minta doa mereka. Kini, doakan saya. Menghafal itu kesibukan seumur hidup. Bukan buat menikah. Bukan biar ada gelar. Bukan biar disebut orang.
Saya, sahabt, mencari sakinah. Saya mencari respon atas tata cara yang berputar di dunia ini. saya mencari respon atas segala penindasan atau kemiskina yang ada di dunia ini.
Sayapu, mencari respon atas keltihan saya selama ini. Dan respon itu seakan-akan pribadi Allah gambarkan dalam ayat-ayat yang saya hafal, dengan jelas. Saya cuma ingin berkisah, dan meminta doa.
By: @risalah_amar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Add your comment